Bunyi WA berdering di handphone, terlihat ada 15 chat masuk dari seorang teman. Dia berkeluh kesah tentang apa yang baru saja dialaminya. Ceritanya begini, dia baru saja menjalanlan Tes HIV di salah satu puskemas. Namun, ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan dokter yang menurutnya tidak sopan. Ketika dia mendapatkan konseling pasca-tes, menurutnya dokter tersebut terlalu banyak berceramah dan menyinggung privasinya, sehingga membuatnya tidak nyaman sama sekali. Seharusnya komunikasi yang baik antara pasien dan dokter bisa terjalin baik di awal. Dampaknya, teman saya ini menjadi tidak terbuka terhadap apa yang dialaminya. Amat sangat disayangkan jika itu terjadi.
Dokter bukanlah pemuka agama. Menurut saya, dokter (ataupun tenaga kesehatan lain) ketika berhadapan dengan pasien yang memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan dianutnya, ia harus lebih bijaksana dan arif dalam membangun komunikasi dengan pasien. Seorang dokter harus terbebas prasangka-prasangka buruk terhadap pasiennya.
Tak sedikit pasien/ODHA yang menjadi enggan untuk berobat ke layanan kesehatan, ketika mereka mendapati bahwa ada judging/stigma dari para tenaga kesehatan. Kita tidak tahu apa yang dihadapi pasien tersebut. Yang terlihat bisa, saja tidak seperti yang terlihat. Dokter sebaiknya bisa menjadi mitra pendengar baik pasien, dengarkan apa yang mereka rasakan dan alami, biarkan mereka terbuka dengan apa yang dialaminya.
Ketika hubungan baik antara dokter dan pasien terjalin, maka kesadaran terhadap perubahan perilaku bisa dimulai. Rangkullah pasien tersebut tanpa ada stigma dan prasangka yang buruk.
Komunikasi memang kunci penting dalam urusan dokter-pasien. Kalau salah satu sudah merasa tidak nyaman, maka akan susah menggali informasi lain terkait gejala/penyakitnya..
Jimmy recently posted…Aplikasi Halodoc Konsultasi Dokter
setuju